Merealisasikan Pendidikan Karakter
Rabu, 20 Juni 2018
Edit
Setiap insan yang terlahir ke dunia merupakan anugrah dan setiap insan menyandang potensinya masing-masing. Ia akan menjadi manfaat atau tidak untuk dirinya sendiri dan lingkungannya tergantung perlakuan yang diterima dirinya.
Perlakuan inilah yang disebut dengan pendidikan. Kualitas kemanusiaan sangat bergantung dari pendidikan yang diberikan. Semakin berkualitas pendidikan yang diberikan, akan semakin berkualitas pula kualitas sumber daya insan yang dihasilkan.
Tujuan pendidikan itu sendiri pada hakikatnya tidak hanya menambah pengetahuan, tapi juga secara seimbang harus menanamkan huruf aktual terhadap sikap, perilaku, dan tindakan seseorang.
Tujuan pendidikan ialah untuk menghasilkan orang yang baik. Siapakah insan yang baik itu? Yaitu insan yang mengenal dirinya, kemudian ia mengenal Tuhannya. Ia mengenal potensi yang ada pada dirinya dan bisa mengembangkannya. Pendidikan akan menghasilkan insan paripurna yang sanggup memaknai hakikat dirinya sebagai hamba Tuhan dan makhluk sosial.
Hal ini dimaksudkan biar insan yang berpendidikan itu cerdas otaknya sekaligus waras perilakunya.
Pendidikan harus kembali kepada fungsi asalnya, yaitu menanamkan huruf aktual warga negara sesuai dengan fungsi pendidikan yang tersurat dalam UU No. 20 Tahun 2003 perihal Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menjelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi menyebarkan kemampuan dan membentuk huruf serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Intinya, huruf warga negara harus ditopang oleh nilai-nilai moral, sehingga akan tercipta kesalehan sosial.
Karakter yang baik, berdasarkan John Luther, lebih patut dipuji daripada talenta yang luar biasa. Hampir semua talenta ialah anugerah. Karakter yang baik tidak dianugerahkan kepada kita. Kita harus membangunnya bertahap dengan pikiran, pilihan, keberanian, dan perjuangan keras.
Karakter memang laksana "otot" yang memerlukan latihan demi latihan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan dan kekuatannya. Oleh lantaran itu, pendidikan huruf memerlukan proses pemahaman, penanaman nilai, dan pembiasaan, sehingga seorang anak didik sanggup menyayangi perbuatan baik berdasarkan kesadaran yang timbul dari dirinya.
Dalam kaitan inilah kita melihat banyaknya kekeliruan dan kegagalan dalam konsep dan kebijakan pendidikan nasional yang terlalu mengarahkan anak didik untuk semata-mata terampil menjawab soal.
Anak dihargai tinggi kalau bisa menjawab soal-soal ujian. Mata pelajaran diarahkan untuk latihan kognitif semata dengan menjejalkan gosip sebanyak mungkin kepada para siswa.
Pendidikan huruf bukanlah sebuah proses menghafal bahan soal ujian dan teknik-teknik menjawabnya. Pendidikan huruf memerlukan penyesuaian dan harus berangkat dari kesadaran masing-masing individu. Sebab, segala sesuatu yang berangkat dari kesadaran akan lebih bertahan usang dibandingkan dengan motivasi yang berasal dari luar dirinya.
Menurut Ratna Megawangi (2007), pendidikan huruf ialah untuk mengukir tabiat melalui proses knowing the good, loving the good, dan acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, sehingga tabiat mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.
Dengan demikian, kurang sempurna kalau menganggap pendidikan huruf hanya urusan mata pelajaran agama atau PKN. Pendidikan huruf menempel pada mata pelajaran apapun. Bahkan, rasanya tidak adil kalau pendidikan huruf hanya dibebankan dan menjadi tanggung jawab institusi sekolah.
Pendidikan huruf harus bermula dan ditanamkan dari lingkungan keluarga, lantaran keluarga ialah fondasi utama pendidikan. Betapa pun baiknya pendidikan formal di sekolah, betapa pun sudah didukung oleh perangkat teknologi canggih, kalau tidak didukung oleh lingkungan keluarga yang baik, akibatnya tidak akan memuaskan.
Keluarga ialah basis terkecil dari kehidupan bermasyarakat. Pendidikan dalam keluarga harus ditopang juga oleh lingkungan dan masyarakat yang sehat, serta didukung oleh pemerintahan yang bersih.
Meski terkadang pemerintahan yang higienis masih menjadi utopia. Jika tidak begitu, pendidikan huruf akan sulit untuk direalisasikan dan hanya akan menjadi wacana saja.
Perlakuan inilah yang disebut dengan pendidikan. Kualitas kemanusiaan sangat bergantung dari pendidikan yang diberikan. Semakin berkualitas pendidikan yang diberikan, akan semakin berkualitas pula kualitas sumber daya insan yang dihasilkan.
Tujuan pendidikan itu sendiri pada hakikatnya tidak hanya menambah pengetahuan, tapi juga secara seimbang harus menanamkan huruf aktual terhadap sikap, perilaku, dan tindakan seseorang.
Tujuan pendidikan ialah untuk menghasilkan orang yang baik. Siapakah insan yang baik itu? Yaitu insan yang mengenal dirinya, kemudian ia mengenal Tuhannya. Ia mengenal potensi yang ada pada dirinya dan bisa mengembangkannya. Pendidikan akan menghasilkan insan paripurna yang sanggup memaknai hakikat dirinya sebagai hamba Tuhan dan makhluk sosial.
Hal ini dimaksudkan biar insan yang berpendidikan itu cerdas otaknya sekaligus waras perilakunya.
Pendidikan harus kembali kepada fungsi asalnya, yaitu menanamkan huruf aktual warga negara sesuai dengan fungsi pendidikan yang tersurat dalam UU No. 20 Tahun 2003 perihal Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menjelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi menyebarkan kemampuan dan membentuk huruf serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Intinya, huruf warga negara harus ditopang oleh nilai-nilai moral, sehingga akan tercipta kesalehan sosial.
Karakter yang baik, berdasarkan John Luther, lebih patut dipuji daripada talenta yang luar biasa. Hampir semua talenta ialah anugerah. Karakter yang baik tidak dianugerahkan kepada kita. Kita harus membangunnya bertahap dengan pikiran, pilihan, keberanian, dan perjuangan keras.
Karakter memang laksana "otot" yang memerlukan latihan demi latihan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan dan kekuatannya. Oleh lantaran itu, pendidikan huruf memerlukan proses pemahaman, penanaman nilai, dan pembiasaan, sehingga seorang anak didik sanggup menyayangi perbuatan baik berdasarkan kesadaran yang timbul dari dirinya.
Dalam kaitan inilah kita melihat banyaknya kekeliruan dan kegagalan dalam konsep dan kebijakan pendidikan nasional yang terlalu mengarahkan anak didik untuk semata-mata terampil menjawab soal.
Anak dihargai tinggi kalau bisa menjawab soal-soal ujian. Mata pelajaran diarahkan untuk latihan kognitif semata dengan menjejalkan gosip sebanyak mungkin kepada para siswa.
Pendidikan huruf bukanlah sebuah proses menghafal bahan soal ujian dan teknik-teknik menjawabnya. Pendidikan huruf memerlukan penyesuaian dan harus berangkat dari kesadaran masing-masing individu. Sebab, segala sesuatu yang berangkat dari kesadaran akan lebih bertahan usang dibandingkan dengan motivasi yang berasal dari luar dirinya.
Menurut Ratna Megawangi (2007), pendidikan huruf ialah untuk mengukir tabiat melalui proses knowing the good, loving the good, dan acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, sehingga tabiat mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.
Dengan demikian, kurang sempurna kalau menganggap pendidikan huruf hanya urusan mata pelajaran agama atau PKN. Pendidikan huruf menempel pada mata pelajaran apapun. Bahkan, rasanya tidak adil kalau pendidikan huruf hanya dibebankan dan menjadi tanggung jawab institusi sekolah.
Pendidikan huruf harus bermula dan ditanamkan dari lingkungan keluarga, lantaran keluarga ialah fondasi utama pendidikan. Betapa pun baiknya pendidikan formal di sekolah, betapa pun sudah didukung oleh perangkat teknologi canggih, kalau tidak didukung oleh lingkungan keluarga yang baik, akibatnya tidak akan memuaskan.
Keluarga ialah basis terkecil dari kehidupan bermasyarakat. Pendidikan dalam keluarga harus ditopang juga oleh lingkungan dan masyarakat yang sehat, serta didukung oleh pemerintahan yang bersih.
Meski terkadang pemerintahan yang higienis masih menjadi utopia. Jika tidak begitu, pendidikan huruf akan sulit untuk direalisasikan dan hanya akan menjadi wacana saja.